Tuesday, August 7, 2012

Thriller di Getsemani: Ciuman Pengkhianatan (Mrk. 14: 32-52) Bag. 2

Indikasi kedua seorang murid Tuhan berpotensi meninggalkan Tuhan:

2.      Ketika Kita Membiarkan Keinginan Daging Menguasai Jiwa Kita 
Injil Lukas mencatat bahwa Tuhan Yesus menyambut Yudas dengan berkata: Judas, are you betraying the Son of Man with a kiss?"  Sementara Markus sama sekali tidak menunjukkan reaksi Tuhan Yesus sedikitpun atas pengkhianatan yang dilakukan Yudas terhadap diri-Nya.  Diamnya Tuhan Yesus dikarenakan penulis injl Markus ingin mengajak para pembacanya fokus kepada penderitaan Yesus atas tindakan menyedihkan yang justru dilakukan orang-orang terdekat-Nya, yaitu murid-murid yang sudah bersama-sama-Nya kurang lebih 3, 5 tahun dan drama menyedihkan itu dipicu dengan sebuah ciuman pengkhianatan yang dilakukan oleh salah satu murid-Nya yang bernama Yudas Iskariot.
Mungkin kita bertanya siapa sesungguhnya Yudas Iskariot? Mengapa ia bisa melakukan pengkhianatan sekeji itu? Apakah Tuhan Yesus salah memilih orang untuk menjadi murid-Nya? 

Banyak orang melihat cara Tuhan Yesus memilih kedua belas murid-Nya sebagai sesuatu hal yang menimbulkan pertanyaan kontroversial.  Dari keduabelas murid yang dipilih-Nya, Tuhan Yesus tidak mencari murid di Bait Suci untuk mendapatkan sarjana-sarjana yang terbaik dan cemerlang, layaknya sarjana-sarjana lulusan STTAT (Sekolah Tinggi Teologi Ahli-ahli Taurat) ataupun dari kampus STTF (Sekolah Tinggi Teologi orang Farisi).  Tidak, sebaliknya justru Ia memilih sebelas dari dua belas murid-Nya dari sebuah kampung kecil yang tidak terkenal yang bernama Galilea.

Ia memilih Yakobus dan Yohanes yang disebut “anak-anak guruh,” yang artinya karena mereka memiliki watak yang bermulut besar.  Lalu Ia memilih Andreas yang malu-malu, Petrus yang kurang ajar karena mulutnya yang suka ceplas-ceplos.  Kemudian seorang mantan pemungut cukai, kaki tangan Romawi penjajah yang bernama Lewi yang sekarang kita kenal dengan nama Matius.  Belum lagi Tomas dan Natanael yang sinis, yang selalu meragukan Tuhan Yesus.  Dengan tangan-Nya sendiri, Tuhan Yesus memilih para murid-Nya dari kalangan pekerja kasar dan tidak berusaha menyembunyikan kekurangan mereka

Tetapi kalau kita melihat profil Yudas yang juga merupakan bagian dari kedua belas murid Tuhan Yesus, Yudas justru merupakan pilihan yang paling masuk akal untuk dijadikan seorang murid.  Pertama, ayahnya Simon Iskariot memiliki reputasi sebagai pejuang kemerdekaan.  Kedua, Yudas adalah seorang Zealot (anggota kelompok politik dan agama Yahudi yang secara terbuka menentang pemerintahan Romawi) yang loyal kepada Israel.  Sepertinya ia cukup memenuhi syarat untuk menjadi murid Tuhan. Di dalam perjalanannya menjadi murid Tuhan, ia mendapatkan pelatihan yang sama, keuntungan yang sama dari hubungan yang dekat dengan Yesus, sang Anak Allah, bahkan kuasa yang sama untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan yang merasuki orang-orang tertentu.  Sampai akhirnya, iapun mendapat kepercayaan untuk memegang dan mengatur keuangan di kelompok yang Tuhan Yesus pimpin (Yoh. 13:29).

Tetapi ada yang berbeda jauh di dalam lubuk hatinya,  ada sesuatu yang muncul di dalam diri murid yang baik dan terhormat ini yang membawanya ke jalan yang sangat berbeda dari murid-murid yang lain.  Tak seorangpun yang tahu secara pasti kapan hal itu terjadi—meskipun Yesus sudah memberikan petunjuk—sampai akhirnya terkuak dalam peristiwa Getsemani.

Sdr, perubahan hati Yudas mulai terdeteksi setelah peristiwa Tuhan Yesus memberi makan 5000 orang.  Peristiwa pelipatgandaan 5 roti dan 2 ikan yang mencukupi perut 5000 lebih manusia menstimulasi pikiran orang-orang yang ada saat itu, termasuk Yudas untuk menjadikan Tuhan Yesus sebagai Raja yang akan memerintah Israel dan menggulingkan Romawi.  Tetapi Alkitab menulis,  “Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri (Yoh. 6:15).

Sdr, taktala Yudas menyadari hal tersebut, ia serasa lunglai, pastilah ada kebingungan, ada kekecewaan di dalam hatinya.  Baru saja ia melihat sosok pemimpin yang ia cari, yang ia butuhkan, yang bisa memenuhi keinginannya, yang sesuai dengan kehendaknya.  Tetapi lewat kaca matanya sekarang ia melihat Tuhan Yesus bukanlah sosok pemimpin yang sesuai dengan dengan kehendaknya sebaliknya justru mengecewakannya.  Semenjak itu, separuh hati Yudas seakan beranjak meninggalkan keyakinannya terhadap Gurunya, Pemimpinnya.  Ketidakbergantungannya kepada Tuhan membuka pintu bagi Iblis untuk semakin berkuasa atas dirinya. Semua itu bisa terjadi karena ia not 100% trust in GOD.

 Indikasi yang berikutnya telihat sewaktu Tuhan Yesus mengunjungi seorang Farisi yang bernama Simon.  Ketika Tuhan Yesus tengah asyik mengobrol sambil menyantap makanan, tiba-tiba datang datang seorang gadis muda—Yohanes menulis gadis itu bernama Maria (Yoh. 12:3)—membawa buli-buli berisi minyak Narwastu yang sangat mahal harganya dan ia memecahkannya, kemudian mengurapi tubuh Yesus dari kepala sampai ujung kaki sehingga semerbak harum wangi minyak Narwastu tersebar ke seluruh ruangan rumah  tersebut.  Sungguh suatu bentuk penyembahan yang besar dari seorang yang merasa dosanya telah diampuni dan memperoleh keselamatan.

Tetapi, tiba-tiba saja ruangan yang harum semerbak itu diinterupsi oleh sebuah komentar yang datangnya dari si bendahara Yudas, katanya: "Untuk apa pemborosan minyak narwastu ini? Sebab minyak ini dapat dijual tiga ratus dinar lebih (upah tiga ratus hari) dan uangnya dapat diberikan kepada orang-orang miskin" (Mrk. 14:4-5).  Gila, uang tiga ratus dinar, yang setara dengan upah setahun seorang budak—anggaplah gaji pekerja Rp. 20.000/hari dikalikan 360 hari jadi Rp. 7.200.000 dibuang meresap lenyap begitu saja di celah-celah lantai batu.  Sungguh suatu pemborosan yang sama sekali tidak bijak, tahu keadaan lagi susah malah uang sebegitu besar dibuang-buang.  Mungkin itulah yang mendorong ia untuk berkomentar, namun sebenarnya dialah yang tidak mengerti arti penyembahan yang sesungguhnya.

Enam puluh tahun kemudian, Rasul Yohanes menulis mengenai maksud tersembunyi dari perkataan Yudas, “Hal itu dikatakannya bukan karena ia memerhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya” (Yoh. 12:6).

Yudas yang sudah memprovokasi orang-orang yang ada di sana saat itu dengan mengusung tema “pemborosan” ternyata malah mendapatkan teguran yang keras dari Tuhan Yesus.   Untuk kedua kalinya, Tuhan Yesus  mendiagnosa indikasi niat jahat Yudas, tetapi sayang seribu sayang, Yudas tidak peka.  Kritikan tajam yang diberikan Tuhan Yesus malah membuatnya menjadi marah.  Segera setelah jamuan makan selesai—mungkin sebelum tengah malam—kekesalan hati Yudas berubah menjadi kepahitan, dan menjelang pagi telah berubah menjadi konspirasi pembunuhan.

Injil Lukas menguraikan tentang pengkhianatan ini dengan kata-kata yang mengerikan: “Maka masuklah Iblis ke dalam Yudas, yang bernama Iskariot, seorang dari kedua belas murid itu.  Lalu pergilah Yudas kepada imam-imam kepala dan kepala-kepala pengawal Bait Allah dan berunding dengan mereka, bagaimana ia dapat menyerahkan Yesus kepada mereka” (Luk. 22:2-6).  Matius menjelaskan transaksi pengkhianatan itu bernilai tiga puluh uang perak.  Nilai yang sangat rendah dan Yudas keliru.  Ia sebenarnya tidak  sedang menjual Tuhan Yesus dengan harga tiga puluh keping perak, melainkan dirinya yang ia jual seharga itu kepada Iblis.

Charles Swindoll dalam bukunya Yesus mengatakan, perbuatan Yudas bukan semata-mata adalah karena Iblis, namun melibatkan lebih dari sekedar pengaruh jahat; dengan kata lain pribadi/karakter Yudas memang sudah jahat dari sananya.  Dari kedua belas murid itu, Iblis memilih satu orang yang memelihara dosa tersembunyi dan menjalani kehidupan ganda.  Swindoll mengilustrasikan lewat kalimat: “Yudas membuat pintu dan Iblis menyelinap masuk tanpa terlihat (lih. Kej. 4:7; 1Pet. 5:8).

Tuhan Yesus berbelas kasihan, sehingga Ia memberikan kesempatan kepada Yudas untuk bertobat.  Dia tahu untuk kesekian kalinya bahwa Yudas telah berencana menjual diri-Nya dengan sekantung uang perak.  Untuk terakhir kalinya Tuhan Yesus masih menegur Yudas beberapa waktu sebelum peristiwa Getsemani terjadi.  Yesus lalu bersaksi: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku (Yoh 13:21).  "Dialah itu, yang kepadanya Aku akan memberikan roti, sesudah Aku mencelupkannya." Sesudah berkata demikian Ia mengambil roti, mencelupkannya dan memberikannya kepada Yudas, anak Simon Iskariot (Yoh. 13: 26).

Yesus mengambil sepotong roti, lalu mencelupkannya ke dalam mangkok air garam—yang melambangkan air mata yang ditumpahkan oleh bangsa Israel dalam masa perbudakan di Mesir—dan kemudian dengan sengaja menyodorkannya ke mulut Yudas.  Yudas tersenyum ketika ia menerima isyarat tradisonal yang melambangkan persahabatan itu dan ketika ia menelannya, Alkitab mengatakan ia kerasukan Iblis lalu berkatalah Yesus dengan suara nyaring: "Apa yang hendak kauperbuat, perbuatlah dengan segera" (Yoh. 13:27).  Tawaran pertobatan Yesus disia-siakan oleh dosa kesombongan yang telah mengikatnya kuat.  Kehendak dagingnya sudah menguasai jiwanya.

Swindoll kembali berkata, apa yang dilakukan Yudas adalah manifestasi dari tipu daya Iblis yang diam dalam diri seorang yang tidak takut akan Allah.  Bukankah ketika kita mencoba menipu Allah dengan berbuat dosa, kita sedang memanifestasikan tipu daya Iblis bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang lugu, yang polos, yang dapat ditipu?  Bahkan yang dapat kita suap dengan dalih melakukan perbuatan baik, dengan dalih toleransi ketika kita berada di antara garis hitam dan putih, ataupun bahkan dengan dalih pelayanan yang  sebenarnya berisi hal-hal yang superficial.
Swindoll mengatakan bahwa ada setiap Yudas di dalam diri setiap kita.    Kita semua berpotensi menjadi Yudas Iskariot si pengkhianat ketika kita mencoba menipu Allah dengan perbuatan dosa yang dibungkus dengan kompromitas dan kemunafikan.  Iapun menuliskan empat prinsip yang perlu kita perhatikan lewat cerita tragis Yudas ini:

1.      Bergaul dengan kesalehan tidak menjamin kita akan menjadi saleh.  Artinya, ada lebih dari sekedar datang ke gereja setiap minggunya untuk sebuah pertobatan, untuk mau bertumbuh secara rohani dan untuk itu kita harus menundukkan diri kepada kebenaran yang kita terima melalui firman-Nya.  Harus ada prioritas untuk Tuhan di dalam kehidupan sehari-hari kita.  Bukan kebiasaan yang ada di dunia yang kita bawa ke gereja, tetapi apa yang kita dapat dari firman-Nya yang harus kita bagikan lewat kesaksian hidup kita, menjadi garam dan terang di tengah dunia.

2. Kerusakan moral secara tersembunyi adalah lebih mematikan daripada kerusakan moral yang terlihat.  Tidak ada kanker yang lebih mematikan daripada kanker yang tidak terdeteksi. Terus menerus memelihara sifat berdosa kita, dengan menyembunyikannya secara rapi dan gagal mengaku dosa  dan memohon pengampunan akan mengahalangi kita untuk mengalami pemulihan yang diberikan oleh Yesus melalui karunia keselamatan (bdk. 1Yoh. 1:9).

3. Iblis dan setan-setannya terus mencari kesempatan untuk menentang Tuhan.  Beberapa bagian  dalam Alkitab mengajarkan bahwa orang yang masih menyimpan dosa yang belum dibereskan adalah kendaraan yang ideal yang dapat dipakai Setan untuk menyerang orang dan rencana Allah (Kej. 4: 6-7; Ef. 4: 25-27; 5: 15-16; 1Pet. 5: 6-8).

4.Tidak ada kesedihan yang dapat dibandingkan dengan penyesalan yang dalam dari seseorang yang sudah terlambat mengetahui bahwa ia sudah mengenal Yesus namun dengan angkuh menolak teguran kasih-NyaAlat utama Iblis adalah penipuan, yang dipakainya untuk memutar-balikkan dosa yang tidak dibereskan serta motivasi yang egois untuk melaksanakan tujuan-tujuannya.

PENUTUP:
Tanpa adanya dukungan, Tuhan Yesus melangkah untuk diadili seorang diri, semuanya dilakukan seorang diri.  Klimaksnya memuncak ketika Dia tergantung di kayu salib, di sanalah Dia menjerit "Eloi, Eloi, lama sabakhtani?—Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?—Yesus mengalami persekutuan yang sempurna dengan Bapa, namun di kayu salib, sebagai manusia seutuhnya Dia ditinggalkan Sang Bapa.  Semuanya meninggalkan Dia justru karena Dia tidak ingin meninggalkan kita.  Ironis!

Louis Berkhof berkata, ketika berada di dunia, Tuhan Yesus bukan hanya mengalami penderitaan secara fisik, tetapi Tuhan Yesus mengalami penderitaan yang menyeluruh, yang menyangkut tubuh, jiwa dan roh.  Ketika Dia disalib, Dia diejek, Dia bisa saja turun dari salib dan meninggalkan hukuman-Nya. Tetapi itu tidak dilakukan-Nya, malahan Dia mengatakan Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34). Tuhan Yesus telah ditinggalkan untuk menghadapi penderitaan seorang diri tanpa relasi dengan Bapa atau persekutuan sahabat-sahabat-Nya, tetapi itu tidak membuat-Nya menyerah dan melarikan diri, meninggalkan kita.  Untuk sebuah karya penebusan yang agung, untuk melakukan kehendak Bapa-Nya di sorga Dia tetap bertahan dan tidak meninggalkan penderitaan-Nya di tengah jalan.  Siapkah kita memikul salib bersama dengan-Nya, atau kita ingin meninggalkan-Nya?

Ada kalanya sebagai pengikut Kristus kita mengalami masalah yang cukup berat.  Menghadapi tantangan kehidupan yang berpotensi membuat kita meninggalkan Yesus, bahkan ada kalanya kita sebagai orang Kristen  merasa tidak melakukan hal yang merugikan  orang lain, tetapi tetap saja kita mengalami apa yang dinamakan ketidakadilan, diskriminasi, intimidasi ataupun penganiayaan.

Bahkan adakalanya pencobaan yang kita alami bukanlah berupa penderitaan, tetapi justru kenikmatan dunia yang menggoda kita, “berkat” yang sepertinya dari Tuhan namun sebenarnya dibelokkan oleh Iblis sehingga secara perlahan-lahan ia menarik kita semakin jauh meninggalkan Tuhan Yesus.  Setan memiliki 1001 cara untuk menarik kita meninggalkan Yesus, oleh karenanya, firman Tuhan hari ini memberikan kita alarm: (1) agar kita melatih kepekaan kita secara rohani dengan berdoa dan berjaga-jaga dalam kebenaran firman-Nya; (2) mewaspadai keinginan daging kita agar tidak menghalangi keinginan roh kita dalam melakukan kehendak Allah.

Oleh sebab itu, janganlah kita membiarkan diri kita undur dari Tuhan, penulis Ibrani di 10: 25 berkata: Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.  Ketika kita menghadapi masalah, bahkan yang terberat sekalipun, ingatlah bahwa  Tuhan Yesus sudah terlebih dahulu menderita bagi saya juga bagi sdr.  Tuhan Yesus telah melewati semuanya, penderitaan dan penganiayaan bahkan maut, sebagaimana dikatakan dalam Ibrani 4:15 “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.”

Mohonlah ampun, jika dalam hidup kita, kita pernah dan masih meninggalkan-Nya, dan berbaliklah kepada-Nya. jangan sampai masalah yang menimpa kita membuat kita meninggalkan Tuhan sekali lagi daripada menghadapinya bersama Tuhan.  Jangan tinggalkan Dia sekali lagi.  Mari saudaraku, marilah kita setia kepada Kristus sebab seperti firman Tuhan berkata,” tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhirnya teguh berpegang pada kepercayaan dan pengharapan yang kita megahkan. Amin.

A Gethsemane Thriller: Kiss of Betrayal (Mrk. 14: 32-52) bag. 1

PENDAHULUAN
Suatu kali di Global TV disiarkan sebuah berita mengenai seorang ibu yang menemukan seorang bayi perempuan yang sedang menangis, kira-kira berusia dua bulanan, diletakkan di dalam sebuah dus Aqua, ditinggalkan di dalam sebuah gubuk.  Lalu di dus tersebut ada secarik kertas yang bertuliskan: “Nama anak ini Feby, tolong rawat dia, saya melakukan ini karena himpitan ekonomi.  Ita.”

Karena alasan himpitan ekonomi ataupun karena ancaman masalah yang dihadapinya, seorang ibu bisa tega meninggalkan bayi yang tidak bersalah menangis seorang diri di sebuah gubuk.  Sang bayi hanya bisa menangis berharap ada yang mendengar tangisannya.  Oh, ini hanyalah satu dari ribuan kasus yang serupa yang terjadi dalam kehidupan di dunia ini.

Inilah peristiwa yang masih terjadi dari zaman ke zaman.  Akibat dosa, manusia mampu melakukan kesalahan yang fatal dalam hidupnya.  Seorang manusia bisa egois dan kejam terhadap temannya atau saudaranya bahkan  darah dagingnya karena tekanan masalah yang menimpanya.  Bahkan bukan tidak mungkin ia pun mampu meninggalkan Tuhan karena keegoisannya.  Ya, bukan tidak mungkin seorang murid Tuhan bisa mengkhianati penggilannya, melarikan diri meninggalkan Tuhan karena masalah yang menghadangnya. Namun walau bagaimanapun Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkan umat yang dikasihi-Nya.  Sekalipun Ia ditinggalkan, Ia dikhianati, Ia tetap mengasihi murid-murid-Nya.

Pertanyaannya: mengapa seorang murid Tuhan bisa meninggalkan panggilan-Nya?
Kira-kira apa indikasi seseorang mampu meninggalkan Tuhan?  Indikasi pertama:

1.      Ketika Kita Sudah Tidak Lagi Memiliki Kepekaan Rohani 
Saya percaya tentu tidak mudah bagi seseorang jika ia harus menghadapi masalah yang berat seorang diri.  Ketika ia berada di ambang masalah yang menimpanya, maka yang paling  ia butuhkan adalah sebuah dukungan, terlebih dukungan dari orang-orang yang dikasihinya. Saya berpikir inilah yang juga sedang dibutuhkan oleh Tuhan Yesus—ketika Ia akan menjalani Jalan Penderitaan menuju tiang salib—yaitu sebuah dukungan dari orang-orang yang Ia kasihi. Kamis malam, setelah Tuhan Yesus bersama kedua belas murid-Nya mengadakan perjamuan malam—dalam rangka memperingati keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir yang atau disebut juga dengan hari raya Paskah —Tuhan Yesus mengajak ketiga murid yang terdekat dengan-Nya yaitu: Petrus, Yohanes dan Yakobus  untuk menemani-Nya pergi ke suatu tempat yang bernama Taman Getsemani.

Taman Getsemani adalah sebuah taman yang berada di bawah kaki Bukit Zaitun, merupakan sebuah tempat peristirahatan yang sangat disukai oleh Tuhan Yesus, (Yoh.18:2).  Namun, pada malam hari itu, di Kamis malam, antara pukul  11-12 malam, dua hari menjelang bulan purnama, Getsemani kemungkinan menjadi tempat yang paling ingin dihindari oleh Tuhan Yesus.

Mengapa?  Karena di sanalah dan pada saat itulah akan dimulainya penderitaan Yesus yang terdalam, penderitaan menuju kematian-Nya di tiang salib—yang harus Ia jalani seorang diri tanpa ada dukungan dari orang-orang yang dikasihi-Nya.  Di sana Tuhan Yesus berkata kepada mereka, kata-Nya: "Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah"  (Mrk. 14: 34).

Ironisnya, ketika Tuhan Yesus membutuhkan dukungan dari murid-murid-Nya, dengan meminta mereka untuk berjaga-jaga taktala Dia berdoa, Ia justru menemukan mereka tengah tertidur.  Petrus, salah satu murid yang terkenal suka omong besar adalah yang paling pertama ditegur, "Simon, sedang tidurkah engkau? Tidakkah engkau sanggup berjaga-jaga satu jam? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan; roh memang penurut, tetapi daging lemah" (Mrk. 14: 38).

Bukan satu kali, tetapi tiga kali Tuhan Yesus berdoa dan kembali menemukan mereka  tertidur.  Sungguh tragis!  Menandakan para murid tidak dapat merasakan kegentaran hati Yesus.  Mereka tidak menyadari bahwa malam itu akan menjadi malam yang paling menyengsarakan bagi Tuhan mereka. Akhirnya Tuhan Yesus pun berkata: “Cukuplah. Saatnya sudah tiba, lihat, Anak Manusia diserahkan ke tangan orang-orang berdosa. Bangunlah, marilah kita pergi. Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat"  (Mrk. 14: 41).

Sewaktu Tuhan Yesus masih berbicara, seketika itu juga muncul Yudas, salah seorang dari kedua belas murid Tuhan. Rupanya kebiasaan Yesus ke Getsemani memang sudah sangat dipahami oleh semua murid-Nya, termasuk Yudas salah satu murid-Nya yang tidak di ajak oleh Tuhan Yesus—yang diam-diam meninggalkan perjamuan (Yoh. 13: 30).

Di tengah kegelapan Getsemani yang sunyi, Yudas kemudian menghampiri Yesus, membungkukkan badannya di depan Gurunya, memegang tangan-Nya, menyapa-Nya dengan sebutan Rabbi lalu mencium-Nya dengan ciuman yang gugup namun bersemangat.   Kata “mencium” yang digunakan oleh Markus berasal dari kata “kataphileo,” yang artinya, Yudas mencium Tuhan Yesus dengan penuh “hasrat.”  Dengan kata lain, Yudas mencium pipi Tuhan Yesus layaknya murid yang hormat terhadap gurunya, layaknya ciuman yang tulus yang diberikan oleh seorang bapa kepada anaknya yang hilang dalam kisah anak yang hilang (Luk. 15:20).

Hal itu dilakukan Yudas sebagai upaya agar Tuhan Yesus tidak curiga dan sebagai tanda bagi orang-orang yang ingin menangkap Tuhan Yesus saat itu. Begitu sempurna Yudas mengemas pengkhianatannya seakan Tuhan Yesus bukan Allah yang Mahatahu, seakan-akan Tuhan Yesus adalah seorang yang lugu, polos dan mudah untuk dikelabui.

Benar saja, Yudas memang tidak datang seorang diri, ia datang  dengan ratusan orang  yang membawa pedang dan pentung (Mrk. 14: 43).   Sekonyong-konyong pula Getsemani yang gelap dan sunyi seketika berubah menjadi seramai “pasar malam.”  Yohanes 18: 3 menyebutkan rombongan mereka terdiri dari para penjaga Bait Allah yang disuruh oleh imam-imam kepala dan tua-tua Farisi plus sepasukan Romawi yang diminta oleh orang Saduki, yang berjumlah satu batalyon, yaitu sekitar 600 orang bersenjata lengkap yang siap untuk berperang. Belum lagi rakyat jelata yang terprovokasi, yang ingin melihat keramaian apa yang akan terjadi di Getsemani.

Keberadaan orang-orang yang dikerahkan untuk menangkap Tuhan Yesus menunjukkan seakan-akan Ia adalah orang yang sangat berbahaya.  Padahal sebenarnya para imam dan tua-tua Yahudi tidak berani dan tidak mampu membunuh-Nya karena mereka takut kepada orang banyak yang mengikut-Nya.  Untuk itu Ia menghardik para penyerang-Nya, "Sangkamu Aku ini penyamun, maka kamu datang lengkap dengan pedang dan pentung untuk menangkap Aku? Padahal tiap-tiap hari Aku ada di tengah-tengah kamu mengajar di Bait Allah, dan kamu tidak menangkap Aku. Tetapi haruslah digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci"  (Mrk. 14: 48, 49).

Frasa “Yesus sedang mengajar” dicatat oleh Markus sebanyak tujuh kali, banyak dicatat dalam bentuk present yang artinya kegiatan ini menekankan sebuah kebiasaan.  Itulah mengapa mereka tidak berani menangkap Tuhan Yesus di siang hari, sebaliknya mereka mengemas skenario waktu dan tempat yang pas, yakni waktu malam hari di Taman Getsemani untuk menangkap-Nya.

Tuhan Yesus sama sekali tidak menunjukkan kepanikan—sehingga Ia memanggil bala tentara sorga untuk menghadapi para musuh-Nya.  Tidak, Dia malah memberikan gambaran sesungguhnya  bahwa Dia mengetahui apa yang akan terjadi, “tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri” (Yoh. 10:18).  Tidak ada yang dapat dilakukan manusia tanpa seijin Allah.

Saat itu juga semua murid-Nya melarikan diri, meninggalkan Tuhan Yesus seorang diri menghadapi penderitaan penganiayaan.  Semua murid meninggalkan-Nya.  Petrus yang pernah berkata: “Biarpun mereka semua tergoncang imannya, aku tidak; Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau” (Mrk. 14: 29, 31) pun meninggalkan Tuhan Yesus, Yohanes dan Yakobus yang bersama-sama dengan Tuhan Yesus pun ikut menghilang meninggalkan-Nya.  Tak terkecuali seorang anak muda yang diduga adalah Markus ikut melarikan diri, merelakan diri telanjang daripada ditangkap bersama Yesus (Mrk. 14: 51-52).  Semua murid-Nya meninggalkan Dia.

Kata yang dipakai untuk ‘meninggalkan’ di sini menurut bahasa aslinya “aphentesberarti to abandon, artinya membuang begitu saja tanpa ada perasaan yang terkait, dibuang berarti ditolak.  Semua murid meninggalkan Dia seakan tidak pernah ada jalinan yang terjalin di antara mereka dengan-Nya.  Total, tak tersisa!  Semuanya meninggalkan Yesus.

Mengapa? Pertanyaan yang tersisa hanyalah: Mengapa . . . mengapa mereka yang pernah dekat, tidur, makan bareng selama hampir tiga setengah tahun bisa meninggalkan Tuhan Yesus menderita seorang diri?  Sebegitu teganyakah mereka?!  Jawabannya: karena para murid tidak sungguh-sungguh memperhatikan perkataan Yesus, mereka tidak peka terhadap petunjuk-Nya.

Tuhan Yesus sudah memperingatkan para murid tentang apa yang akan terjadi pada diri-Nya juga pada diri murid-murid, di antaranya: (1) ketika di perjamuan makan malam Tuhan Yesus berkata kepada mereka: "Kamu semua akan tergoncang imanmu” (14: 27), namun para murid tidak peka akan peringatan Tuhan Yesus, bahkan Petrus berkata “Biarpun mereka semua tergoncang imannya, aku tidak (14: 29) "Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau." (14: 31), padahal sebelumnya Tuhan Yesus sudah memperingatinya bahwa Petrus akan menyangkal-Nya tiga kali; (2) ketika di Getsemani, ketika Tuhan Yesus mau berdoa dan berkata Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah." Petrus, Yohanes dan Yakobus juga tidak peka akan curahan hati Yesus, maka bukannya berjaga-jaga dan berdoa mereka malah tertidur.

Kematian Tuhan Yesus yang mendekat bukanlah peristiwa tiba-tiba bagi-Nya, Dia telah mengetahui segalanya, bahkan Dia telah memberitahu kepada para murid agat mereka berjaga-jaga dan mempersiapkan diri mereka.  Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya untuk berjaga-jaga dan berdoa, bukan untuk mendoakan Yesus.  Melainkan untuk mereka sendiri.  Tuhan Yesus tahu bahwa mereka akan membutuhkan tenaga ekstra untuk menghadapi pencobaan di depan mereka nanti, salah satunya pencobaan yang akan  mendorong mereka meninggalkan-Nya dan menyangkal-Nya.

Namun apa yang terjadi?  Murid-murid justru meninggalkan Tuhan Yesus seorang diri. Apa yang mereka lakukan menunjukkan murid-murid tidak peka terhadap perkataan/peringatan Tuhan Yesus.

Refleksi
Kita mungkin tidak sedang menghadapi penganiayaan karena iman kita kepada Yesus.  Tetapi mungkin kita tengah menghadapi banyak masalah yang membuat kita down.   Kita berhadapan dengan orang-orang yang menjengkelkan yang harus kita kasihi dan layani; kita menghadapi beban hidup dan tugas-tugas yang sepertinya tidak ada solusi yang jelas; atau kita bekerja sama dengan orang-orang yang membuat kita down.  Kita harus ingat bahwa di waktu-waktu stress seperti itu, kita mudah untuk mengalami pencobaan.  Lewat firman-Nya, Tuhan Yesus berkata bagaimana kita bisa bertahan:

1)      Berjaga-jagalah (14: 34), kita harus senantiasa berjaga-jaga dan waspada terhadap setiap godaan yang bisa membuat kita jatuh (menjaga mata, telinga, mulut dan tangan serta kaki kita supaya kita tidak melangkah meninggalkan Tuhan).

2)      Berdoa kepada Allah (14: 35) ini merupakan cara kita untuk melatih kepekaan kita terhadap kehendak Allah (mengasah hati nurani).

3)      Mencari dukungan dari teman-teman dan seorang yang mengasihi kita (14: 33, 37, 40-41), ini adalah cara bagaimana kita membangun pertahanan  dan saling menolong satu dengan yang lain; ketika yang satu lemah, yang lain menguatkan (lingkungan positif dan persekutuan).

4)      Fokus kepada tujuan Allah dalam diri kita (14: 36), ini adalah cara bagaimana kita melakukan kehendak Allah dan bukan kehendak kita (cinta mula-mula, tujuan hidup).

Di manapun kita berada, kapanpun  waktunya, dan bagaimanapun keadaan kita, Tuhan menuntut kepekaan kita.  Memiliki kepekaan rohani akan menjaga kita untuk senantiasa berada di dalam lingkaran kasih karunia-Nya dan  menuntun kita selalu berada di jalur ketaatan yang  Tuhan kehendaki.

Book Review: Teaching through the art of storytelling


The key message of Teaching Through the Art of Storytelling: Creating Fictional Stories that Illuminate the Message of Jesus is simple: storytelling is the most effective way of communicating Biblical truths to youth. Author Jon Huckins makes this point by first showing that not only did Jesus do much of His teaching through storytelling, but that the Bible in itself shows a grand story. A story the author missed at first, despite growing up in church.

He saw the Bible primarily as a road-map, a user’s manual for the Christian faith. Only in his late teens and twenties did he discover all the stories in the Bible were connected. An experience that’s eerily familiar I must admit and one that has led me to stress the importance of painting the bigger picture whenever I teach.

Huckins shares some interesting details about how teaching was done in the times of Jesus, explaining the importance of Jewish agada, or fictional stories rabbis used to illustrate a spiritual point. He then places Jesus in this tradition, but stresses how odd His choice of disciples were, for they were not the excellent students most rabbis would have picked.

And the author is right of course, about Jesus often using stories to make a point. But he also shows something that often stays hidden: Jesus often didn’t explain his stories. There are few of His parables explained in the Bible, most of them have a message that the hearers, and now we as readers, have to distill ourselves. It’s not all cookie cut, clear and obvious. There’s a lot of room for conversation, discussion and interpretation.

This was actually my main ‘take away point’ from this book: don’t always make the point you’re making too obvious. I’m really good at getting a key message across and I love using personal stories and stories in general (though I’ve only used ‘real ones’ so far, not fictional ones). After reading this book I think I may want to experiment a bit more with leaving the key message for the post story conversation and discussion.

Huckins then goes on to explore the science of listening, or at least that what the chapter is called. The ‘science part’ is only one page effectively and could have been much more developed in my opinion. There’s a lot of research done that shows the effectiveness of stories scientifically. Huckins uses this chapter to show how the process of conversion changed after Constantine. Interesting, but a bit off the point.

After two more chapters stating from different viewpoint how effective stories can be, it’s time for a practical approach on how to create and develop your own stories to use in teaching. As an aspiring fiction writer, I’ve read a lot of books on writing stories so this didn’t bring much new insight to me, but that might be different if the concept of creating a story is new to you. It’s certainly practical, sound advice he gives here and I agree with him on every bit.

What’s interesting is that the author promotes using stories as almost the main method to teach. He described telling a story in several ‘episodes’ with teens wanting to hear the rest. That in itself is amazing. His youth group also spends time when a story is finished to completely unpack it and discuss what it means. I’m not sure I am comfortable spending that much time on discussing a fictional story rather than God’s Word itself, but maybe they actually do that as well by using the stories as a vehicle. That’s not completely clear to me I must admit.

The book ends with four examples from stories. This is where I experienced some friction, I guess is the best word to describe it. Of course these stories are meant to be told, not read, but it wasn’t the sometimes too factual style that made me disconnect with them. It was the fact that despite trying to be real-life, they had a happy ending.

Two guys living a selfish life come to believe in Jesus and end up helping a homeless man, taking care of him till he dies. A girl starts cutting but finds healing through her youth leader. A guy ends up in prison after shooting another guy but finds Jesus there. A guy having lots of casual sex start to have doubts about the meaninglessness of it and longs for a deeper relationship with God. It was all a little bit too…easy for me.
Taking the cutting story. I think that a topic like self harm and cutting is very suitable to address through stories. But when a story of a girl that starts cutting ends like this:

“Chloe decided she wanted to kick her spiritual bulimia and seek healing from the pain that her false identity had caused her so she could enter more fully into her identity as a follower of Jesus”

that doesn’t ring true to me. Those aren’t the thoughts of a teen, but of a spiritually mature adult writing about a teen. That was a bit the case with every ending: it was just too mature, too spiritually perfect. And that’s coming from a girl who loves a happy ending more than anything…in fiction. But if we want these stories to sound real to teens, aren’t they supposed to have more of an open ending?

Anyway, Teaching Through the Art of Storytelling was a very interesting book and it certainly challenged me to experiment with fictional stories, which was the whole point of the book. I’d really encourage you to read it as well and see if you could use this method in your youth ministry. Because I’m convinced that stories work, especially in our story-saturated time and age.

The Short Preacher: Advent Sermon Series

The Short Preacher: Advent Sermon Series: The Advent season is upon us. I thought it would be a good time to share some past Advent sermon series with each other. No doubt, we sh...

Preaching for Youth: language my dear, language

This is part four in a series on preaching for youth. Today we will focus on language. What guidelines are there with regard to the kind of language you have to use when preaching for teens or students? Here’s my list of three things you should avoid.

Don’t try to be hip

It can be like, you know, really irritating if you are trying to be down with the lingo, you know? Like, really irritating. Enough already. Don’t start using words you wouldn’t normally use, just to appear hip and happening. You’ll come across as fake and sort of desperate. Trust me, not the kind of image you want to project. You don’t need to be hip to connect with youth, just be yourself.

Avoid church words

Sometimes I feel like we’ve developed our own language in the church with all these ‘buzz words’ that you never come across outside of church. For older generations, these words are pretty common and standard, but even there not everyone know what justification means or how salvation relates to redemption.

When preaching for teens or students, you have to be extra careful in using these words. Chances are they won’t know what you mean by them, or have a incomplete or incorrect understanding. Best-case scenario: they will misinterpret your message.

But it can get worse: use too many of these words in your sermon, and they won’t listen to you at all anymore. If they don’t understand it, why would they listen? They’ll mentally check out in the beginning of your message and you’ll never get their attention back. And they might just walk away feeling (once again) very dumb and maybe even too stupid to ever ‘get it’. I’m guessing that’s not what you want to happen.

Does that mean you can’t use these words at all? Not completely. You can use them, but first try and see if you can find an easier synonym, and if that doesn’t work, explain them. Just give them the meaning and the context in a few words.

You know what I discovered? Sometimes it’s too easy to use these words, they’ve become a sort of clichés. The restriction of not being able to use them can really force you to find other ways of explaining the gospel for instance. I know it worked that way for me. I discovered new meanings of all-too-familiar words, just because I couldn’t use them and I was forced to think about what they meant exactly.

Here’s a quick list of words you shouldn’t use without explanation:
Grace
Redemption
Reconciliation, reconcile
Salvation, to (be) save(d)
Justification
Covenant
The ‘Law’
Sacrifice, sacrifices
Faith
Works (as opposed to faith)
Flesh
Carnal
Righteous(ness)
Sanctification, sanctified
Holy, holiness
Election
Spiritual
Gentiles
Immorality, immoral
Tongues
Disciples
Apostle
Martyr
Faithful(ness)

And should you preach in outreach services, I strongly recommend that you think hard and long before using anything having to do with blood and lambs without fully explaining yourself. Really, for the uninitiated, this just doesn’t make sense.

Keep it simple

Aside from not using church words, it’s in general a good idea to keep it simple. Use the easiest synonym you can find to avoid confusion. Don’t make sentences with four or five commas that just go on forever. Chop it up in several separate sentences so your audience has no trouble following you. If you’re one of those people that completely write out your sermon, have someone else read it and ask them to underline any difficult words you’ve used. You’ll be amazed at what they still come up with.

So that’s three things to avoid language-wise when preaching for young people. Did I miss anything? Do you know any more words to add to the list of ‘forbidden words’?

Quote of Praching

"Preaching that is boring is preaching that talks first about us and then only tangentially about God.  Preaching that is faithful is preaching that talks first about God and then only secondarily and derivatively talks about us.  The God of Scripture is so much more interestingly than we are."

Will Willimon from "My Advice for Preachers" in Best Advice: Wisdom on Ministry from 30 Leading Pastors and Preachers (edited by William J. Carl, III)

Quote of Preaching

"Becoming a great preacher, like becoming a great artist, requires a life commitment."

- Calvin Miller, The Empowered Communicator

Quote of Preaching

"The proper response to biblical preaching does not lie in pronouncing the pastor a skilled communicator but rather in determining whether God has spoken and whether or not He will be trusted and obeyed."

 Haddon Robinson, Making a Difference in Preaching, 71.