PENDAHULUAN
Suatu kali di Global TV disiarkan sebuah berita
mengenai seorang ibu yang menemukan seorang bayi perempuan yang sedang
menangis, kira-kira berusia dua bulanan, diletakkan di dalam sebuah dus Aqua, ditinggalkan di dalam sebuah gubuk. Lalu di dus tersebut ada secarik kertas yang bertuliskan: “Nama anak ini Feby, tolong rawat dia, saya melakukan ini karena himpitan ekonomi. Ita.”
Karena
alasan himpitan ekonomi ataupun karena ancaman masalah yang
dihadapinya, seorang ibu bisa tega meninggalkan bayi yang tidak bersalah
menangis seorang diri di sebuah gubuk. Sang bayi hanya bisa menangis
berharap ada yang mendengar tangisannya. Oh, ini hanyalah satu dari
ribuan kasus yang serupa yang terjadi dalam kehidupan di dunia ini.
Inilah
peristiwa yang masih terjadi dari zaman ke zaman. Akibat dosa, manusia
mampu melakukan kesalahan yang fatal dalam hidupnya. Seorang manusia
bisa egois dan kejam terhadap temannya atau saudaranya bahkan darah
dagingnya karena tekanan masalah yang menimpanya. Bahkan bukan tidak
mungkin ia pun mampu meninggalkan Tuhan karena keegoisannya. Ya, bukan
tidak mungkin seorang murid Tuhan bisa mengkhianati penggilannya,
melarikan diri meninggalkan Tuhan karena masalah yang menghadangnya. Namun walau bagaimanapun Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkan umat yang dikasihi-Nya. Sekalipun Ia ditinggalkan, Ia dikhianati, Ia tetap mengasihi murid-murid-Nya.
Pertanyaannya: mengapa seorang murid Tuhan bisa meninggalkan panggilan-Nya?
Kira-kira apa indikasi seseorang mampu meninggalkan Tuhan? Indikasi pertama:
1. Ketika Kita Sudah Tidak Lagi Memiliki Kepekaan Rohani
Saya
percaya tentu tidak mudah bagi seseorang jika ia harus menghadapi
masalah yang berat seorang diri. Ketika ia berada di ambang masalah
yang menimpanya, maka yang paling ia butuhkan adalah sebuah dukungan,
terlebih dukungan dari orang-orang yang dikasihinya. Saya berpikir
inilah yang juga sedang dibutuhkan oleh Tuhan Yesus—ketika Ia akan
menjalani Jalan Penderitaan menuju tiang salib—yaitu sebuah dukungan
dari orang-orang yang Ia kasihi. Kamis malam, setelah Tuhan Yesus
bersama kedua belas murid-Nya mengadakan perjamuan malam—dalam rangka
memperingati keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir yang atau disebut
juga dengan hari raya Paskah —Tuhan Yesus mengajak ketiga murid yang
terdekat dengan-Nya yaitu: Petrus, Yohanes dan Yakobus untuk
menemani-Nya pergi ke suatu tempat yang bernama Taman Getsemani.
Taman
Getsemani adalah sebuah taman yang berada di bawah kaki Bukit Zaitun,
merupakan sebuah tempat peristirahatan yang sangat disukai oleh Tuhan
Yesus, (Yoh.18:2). Namun, pada malam hari itu, di Kamis malam, antara
pukul 11-12 malam, dua hari menjelang bulan purnama, Getsemani
kemungkinan menjadi tempat yang paling ingin dihindari oleh Tuhan Yesus.
Mengapa?
Karena di sanalah dan pada saat itulah akan dimulainya penderitaan
Yesus yang terdalam, penderitaan menuju kematian-Nya di tiang salib—yang
harus Ia jalani seorang diri tanpa ada dukungan dari orang-orang yang
dikasihi-Nya. Di sana Tuhan Yesus berkata kepada mereka, kata-Nya: "Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah" (Mrk. 14: 34).
Ironisnya,
ketika Tuhan Yesus membutuhkan dukungan dari murid-murid-Nya, dengan
meminta mereka untuk berjaga-jaga taktala Dia berdoa, Ia justru
menemukan mereka tengah tertidur. Petrus, salah satu murid yang
terkenal suka omong besar adalah yang paling pertama ditegur, "Simon, sedang tidurkah engkau? Tidakkah engkau sanggup berjaga-jaga satu jam? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan; roh memang penurut, tetapi daging lemah" (Mrk. 14: 38).
Bukan
satu kali, tetapi tiga kali Tuhan Yesus berdoa dan kembali menemukan
mereka tertidur. Sungguh tragis! Menandakan para murid tidak dapat
merasakan kegentaran hati Yesus. Mereka tidak menyadari bahwa malam itu
akan menjadi malam yang paling menyengsarakan bagi Tuhan mereka.
Akhirnya Tuhan Yesus pun berkata: “Cukuplah. Saatnya sudah tiba,
lihat, Anak Manusia diserahkan ke tangan orang-orang berdosa. Bangunlah,
marilah kita pergi. Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat" (Mrk. 14: 41).
Sewaktu
Tuhan Yesus masih berbicara, seketika itu juga muncul Yudas, salah
seorang dari kedua belas murid Tuhan. Rupanya kebiasaan Yesus ke
Getsemani memang sudah sangat dipahami oleh semua murid-Nya, termasuk
Yudas salah satu murid-Nya yang tidak di ajak oleh Tuhan Yesus—yang
diam-diam meninggalkan perjamuan (Yoh. 13: 30).
Di
tengah kegelapan Getsemani yang sunyi, Yudas kemudian menghampiri Yesus,
membungkukkan badannya di depan Gurunya, memegang tangan-Nya,
menyapa-Nya dengan sebutan Rabbi lalu mencium-Nya dengan ciuman yang gugup namun bersemangat. Kata “mencium” yang digunakan oleh Markus berasal dari kata “kataphileo,”
yang artinya, Yudas mencium Tuhan Yesus dengan penuh “hasrat.” Dengan
kata lain, Yudas mencium pipi Tuhan Yesus layaknya murid yang hormat
terhadap gurunya, layaknya ciuman yang tulus yang diberikan oleh seorang
bapa kepada anaknya yang hilang dalam kisah anak yang hilang (Luk.
15:20).
Hal itu dilakukan Yudas sebagai upaya agar Tuhan
Yesus tidak curiga dan sebagai tanda bagi orang-orang yang ingin
menangkap Tuhan Yesus saat itu. Begitu sempurna Yudas mengemas
pengkhianatannya seakan Tuhan Yesus bukan Allah yang Mahatahu,
seakan-akan Tuhan Yesus adalah seorang yang lugu, polos dan mudah untuk
dikelabui.
Benar saja, Yudas memang tidak datang seorang
diri, ia datang dengan ratusan orang yang membawa pedang dan pentung
(Mrk. 14: 43). Sekonyong-konyong pula Getsemani yang gelap dan sunyi
seketika berubah menjadi seramai “pasar malam.” Yohanes 18: 3
menyebutkan rombongan mereka terdiri dari para penjaga Bait Allah yang
disuruh oleh imam-imam kepala dan tua-tua Farisi plus sepasukan
Romawi yang diminta oleh orang Saduki, yang berjumlah satu batalyon,
yaitu sekitar 600 orang bersenjata lengkap yang siap untuk berperang.
Belum lagi rakyat jelata yang terprovokasi, yang ingin melihat keramaian
apa yang akan terjadi di Getsemani.
Keberadaan
orang-orang yang dikerahkan untuk menangkap Tuhan Yesus menunjukkan
seakan-akan Ia adalah orang yang sangat berbahaya. Padahal sebenarnya
para imam dan tua-tua Yahudi tidak berani dan tidak mampu membunuh-Nya
karena mereka takut kepada orang banyak yang mengikut-Nya. Untuk itu Ia
menghardik para penyerang-Nya, "Sangkamu Aku ini penyamun, maka kamu datang lengkap dengan pedang dan pentung untuk menangkap Aku?
Padahal tiap-tiap hari Aku ada di tengah-tengah kamu mengajar di Bait
Allah, dan kamu tidak menangkap Aku. Tetapi haruslah digenapi yang
tertulis dalam Kitab Suci" (Mrk. 14: 48, 49).
Frasa “Yesus sedang mengajar” dicatat oleh Markus sebanyak tujuh kali, banyak dicatat dalam bentuk present
yang artinya kegiatan ini menekankan sebuah kebiasaan. Itulah mengapa
mereka tidak berani menangkap Tuhan Yesus di siang hari, sebaliknya
mereka mengemas skenario waktu dan tempat yang pas, yakni waktu malam
hari di Taman Getsemani untuk menangkap-Nya.
Tuhan Yesus
sama sekali tidak menunjukkan kepanikan—sehingga Ia memanggil bala
tentara sorga untuk menghadapi para musuh-Nya. Tidak, Dia malah
memberikan gambaran sesungguhnya bahwa Dia mengetahui apa yang akan
terjadi, “tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri” (Yoh. 10:18). Tidak ada yang dapat dilakukan manusia tanpa seijin Allah.
Saat
itu juga semua murid-Nya melarikan diri, meninggalkan Tuhan Yesus
seorang diri menghadapi penderitaan penganiayaan. Semua murid
meninggalkan-Nya. Petrus yang pernah berkata: “Biarpun mereka semua tergoncang imannya, aku tidak; Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau”
(Mrk. 14: 29, 31) pun meninggalkan Tuhan Yesus, Yohanes dan Yakobus
yang bersama-sama dengan Tuhan Yesus pun ikut menghilang
meninggalkan-Nya. Tak terkecuali seorang anak muda yang diduga adalah
Markus ikut melarikan diri, merelakan diri telanjang daripada ditangkap
bersama Yesus (Mrk. 14: 51-52). Semua murid-Nya meninggalkan Dia.
Kata yang dipakai untuk ‘meninggalkan’ di sini menurut bahasa aslinya “aphentes” berarti to abandon,
artinya membuang begitu saja tanpa ada perasaan yang terkait, dibuang
berarti ditolak. Semua murid meninggalkan Dia seakan tidak pernah ada
jalinan yang terjalin di antara mereka dengan-Nya. Total, tak tersisa!
Semuanya meninggalkan Yesus.
Mengapa?
Pertanyaan yang tersisa hanyalah: Mengapa . . . mengapa mereka yang
pernah dekat, tidur, makan bareng selama hampir tiga setengah tahun bisa
meninggalkan Tuhan Yesus menderita seorang diri? Sebegitu teganyakah
mereka?! Jawabannya: karena para murid tidak sungguh-sungguh
memperhatikan perkataan Yesus, mereka tidak peka terhadap petunjuk-Nya.
Tuhan
Yesus sudah memperingatkan para murid tentang apa yang akan terjadi
pada diri-Nya juga pada diri murid-murid, di antaranya: (1) ketika di
perjamuan makan malam Tuhan Yesus berkata kepada mereka: "Kamu semua akan tergoncang imanmu” (14: 27), namun para murid tidak peka akan peringatan Tuhan Yesus, bahkan Petrus berkata “Biarpun mereka semua tergoncang imannya, aku tidak (14: 29) "Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau." (14:
31), padahal sebelumnya Tuhan Yesus sudah memperingatinya bahwa Petrus
akan menyangkal-Nya tiga kali; (2) ketika di Getsemani, ketika Tuhan
Yesus mau berdoa dan berkata Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah." Petrus,
Yohanes dan Yakobus juga tidak peka akan curahan hati Yesus, maka
bukannya berjaga-jaga dan berdoa mereka malah tertidur.
Kematian
Tuhan Yesus yang mendekat bukanlah peristiwa tiba-tiba bagi-Nya, Dia
telah mengetahui segalanya, bahkan Dia telah memberitahu kepada para
murid agat mereka berjaga-jaga dan mempersiapkan diri mereka. Tuhan
Yesus berkata kepada murid-murid-Nya untuk berjaga-jaga dan berdoa, bukan
untuk mendoakan Yesus. Melainkan untuk mereka sendiri. Tuhan Yesus
tahu bahwa mereka akan membutuhkan tenaga ekstra untuk menghadapi
pencobaan di depan mereka nanti, salah satunya pencobaan yang akan
mendorong mereka meninggalkan-Nya dan menyangkal-Nya.
Namun
apa yang terjadi? Murid-murid justru meninggalkan Tuhan Yesus seorang
diri. Apa yang mereka lakukan menunjukkan murid-murid tidak peka
terhadap perkataan/peringatan Tuhan Yesus.
Refleksi
Kita
mungkin tidak sedang menghadapi penganiayaan karena iman kita kepada
Yesus. Tetapi mungkin kita tengah menghadapi banyak masalah yang
membuat kita down. Kita berhadapan dengan orang-orang yang
menjengkelkan yang harus kita kasihi dan layani; kita menghadapi beban
hidup dan tugas-tugas yang sepertinya tidak ada solusi yang jelas; atau
kita bekerja sama dengan orang-orang yang membuat kita down.
Kita harus ingat bahwa di waktu-waktu stress seperti itu, kita mudah
untuk mengalami pencobaan. Lewat firman-Nya, Tuhan Yesus berkata
bagaimana kita bisa bertahan:
1) Berjaga-jagalah
(14: 34), kita harus senantiasa berjaga-jaga dan waspada terhadap
setiap godaan yang bisa membuat kita jatuh (menjaga mata, telinga, mulut
dan tangan serta kaki kita supaya kita tidak melangkah meninggalkan
Tuhan).
2) Berdoa kepada Allah (14: 35) ini merupakan cara kita untuk melatih kepekaan kita terhadap kehendak Allah (mengasah hati nurani).
3) Mencari dukungan dari teman-teman dan seorang yang mengasihi kita
(14: 33, 37, 40-41), ini adalah cara bagaimana kita membangun
pertahanan dan saling menolong satu dengan yang lain; ketika yang satu
lemah, yang lain menguatkan (lingkungan positif dan persekutuan).
4) Fokus kepada tujuan Allah dalam diri kita (14: 36), ini adalah cara bagaimana kita melakukan kehendak Allah dan bukan kehendak kita (cinta mula-mula, tujuan hidup).
Di
manapun kita berada, kapanpun waktunya, dan bagaimanapun keadaan kita,
Tuhan menuntut kepekaan kita. Memiliki kepekaan rohani akan menjaga
kita untuk senantiasa berada di dalam lingkaran kasih karunia-Nya dan
menuntun kita selalu berada di jalur ketaatan yang Tuhan kehendaki.
No comments:
Post a Comment