Tuesday, August 7, 2012

A Gethsemane Thriller: Kiss of Betrayal (Mrk. 14: 32-52) bag. 1

PENDAHULUAN
Suatu kali di Global TV disiarkan sebuah berita mengenai seorang ibu yang menemukan seorang bayi perempuan yang sedang menangis, kira-kira berusia dua bulanan, diletakkan di dalam sebuah dus Aqua, ditinggalkan di dalam sebuah gubuk.  Lalu di dus tersebut ada secarik kertas yang bertuliskan: “Nama anak ini Feby, tolong rawat dia, saya melakukan ini karena himpitan ekonomi.  Ita.”

Karena alasan himpitan ekonomi ataupun karena ancaman masalah yang dihadapinya, seorang ibu bisa tega meninggalkan bayi yang tidak bersalah menangis seorang diri di sebuah gubuk.  Sang bayi hanya bisa menangis berharap ada yang mendengar tangisannya.  Oh, ini hanyalah satu dari ribuan kasus yang serupa yang terjadi dalam kehidupan di dunia ini.

Inilah peristiwa yang masih terjadi dari zaman ke zaman.  Akibat dosa, manusia mampu melakukan kesalahan yang fatal dalam hidupnya.  Seorang manusia bisa egois dan kejam terhadap temannya atau saudaranya bahkan  darah dagingnya karena tekanan masalah yang menimpanya.  Bahkan bukan tidak mungkin ia pun mampu meninggalkan Tuhan karena keegoisannya.  Ya, bukan tidak mungkin seorang murid Tuhan bisa mengkhianati penggilannya, melarikan diri meninggalkan Tuhan karena masalah yang menghadangnya. Namun walau bagaimanapun Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkan umat yang dikasihi-Nya.  Sekalipun Ia ditinggalkan, Ia dikhianati, Ia tetap mengasihi murid-murid-Nya.

Pertanyaannya: mengapa seorang murid Tuhan bisa meninggalkan panggilan-Nya?
Kira-kira apa indikasi seseorang mampu meninggalkan Tuhan?  Indikasi pertama:

1.      Ketika Kita Sudah Tidak Lagi Memiliki Kepekaan Rohani 
Saya percaya tentu tidak mudah bagi seseorang jika ia harus menghadapi masalah yang berat seorang diri.  Ketika ia berada di ambang masalah yang menimpanya, maka yang paling  ia butuhkan adalah sebuah dukungan, terlebih dukungan dari orang-orang yang dikasihinya. Saya berpikir inilah yang juga sedang dibutuhkan oleh Tuhan Yesus—ketika Ia akan menjalani Jalan Penderitaan menuju tiang salib—yaitu sebuah dukungan dari orang-orang yang Ia kasihi. Kamis malam, setelah Tuhan Yesus bersama kedua belas murid-Nya mengadakan perjamuan malam—dalam rangka memperingati keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir yang atau disebut juga dengan hari raya Paskah —Tuhan Yesus mengajak ketiga murid yang terdekat dengan-Nya yaitu: Petrus, Yohanes dan Yakobus  untuk menemani-Nya pergi ke suatu tempat yang bernama Taman Getsemani.

Taman Getsemani adalah sebuah taman yang berada di bawah kaki Bukit Zaitun, merupakan sebuah tempat peristirahatan yang sangat disukai oleh Tuhan Yesus, (Yoh.18:2).  Namun, pada malam hari itu, di Kamis malam, antara pukul  11-12 malam, dua hari menjelang bulan purnama, Getsemani kemungkinan menjadi tempat yang paling ingin dihindari oleh Tuhan Yesus.

Mengapa?  Karena di sanalah dan pada saat itulah akan dimulainya penderitaan Yesus yang terdalam, penderitaan menuju kematian-Nya di tiang salib—yang harus Ia jalani seorang diri tanpa ada dukungan dari orang-orang yang dikasihi-Nya.  Di sana Tuhan Yesus berkata kepada mereka, kata-Nya: "Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah"  (Mrk. 14: 34).

Ironisnya, ketika Tuhan Yesus membutuhkan dukungan dari murid-murid-Nya, dengan meminta mereka untuk berjaga-jaga taktala Dia berdoa, Ia justru menemukan mereka tengah tertidur.  Petrus, salah satu murid yang terkenal suka omong besar adalah yang paling pertama ditegur, "Simon, sedang tidurkah engkau? Tidakkah engkau sanggup berjaga-jaga satu jam? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan; roh memang penurut, tetapi daging lemah" (Mrk. 14: 38).

Bukan satu kali, tetapi tiga kali Tuhan Yesus berdoa dan kembali menemukan mereka  tertidur.  Sungguh tragis!  Menandakan para murid tidak dapat merasakan kegentaran hati Yesus.  Mereka tidak menyadari bahwa malam itu akan menjadi malam yang paling menyengsarakan bagi Tuhan mereka. Akhirnya Tuhan Yesus pun berkata: “Cukuplah. Saatnya sudah tiba, lihat, Anak Manusia diserahkan ke tangan orang-orang berdosa. Bangunlah, marilah kita pergi. Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat"  (Mrk. 14: 41).

Sewaktu Tuhan Yesus masih berbicara, seketika itu juga muncul Yudas, salah seorang dari kedua belas murid Tuhan. Rupanya kebiasaan Yesus ke Getsemani memang sudah sangat dipahami oleh semua murid-Nya, termasuk Yudas salah satu murid-Nya yang tidak di ajak oleh Tuhan Yesus—yang diam-diam meninggalkan perjamuan (Yoh. 13: 30).

Di tengah kegelapan Getsemani yang sunyi, Yudas kemudian menghampiri Yesus, membungkukkan badannya di depan Gurunya, memegang tangan-Nya, menyapa-Nya dengan sebutan Rabbi lalu mencium-Nya dengan ciuman yang gugup namun bersemangat.   Kata “mencium” yang digunakan oleh Markus berasal dari kata “kataphileo,” yang artinya, Yudas mencium Tuhan Yesus dengan penuh “hasrat.”  Dengan kata lain, Yudas mencium pipi Tuhan Yesus layaknya murid yang hormat terhadap gurunya, layaknya ciuman yang tulus yang diberikan oleh seorang bapa kepada anaknya yang hilang dalam kisah anak yang hilang (Luk. 15:20).

Hal itu dilakukan Yudas sebagai upaya agar Tuhan Yesus tidak curiga dan sebagai tanda bagi orang-orang yang ingin menangkap Tuhan Yesus saat itu. Begitu sempurna Yudas mengemas pengkhianatannya seakan Tuhan Yesus bukan Allah yang Mahatahu, seakan-akan Tuhan Yesus adalah seorang yang lugu, polos dan mudah untuk dikelabui.

Benar saja, Yudas memang tidak datang seorang diri, ia datang  dengan ratusan orang  yang membawa pedang dan pentung (Mrk. 14: 43).   Sekonyong-konyong pula Getsemani yang gelap dan sunyi seketika berubah menjadi seramai “pasar malam.”  Yohanes 18: 3 menyebutkan rombongan mereka terdiri dari para penjaga Bait Allah yang disuruh oleh imam-imam kepala dan tua-tua Farisi plus sepasukan Romawi yang diminta oleh orang Saduki, yang berjumlah satu batalyon, yaitu sekitar 600 orang bersenjata lengkap yang siap untuk berperang. Belum lagi rakyat jelata yang terprovokasi, yang ingin melihat keramaian apa yang akan terjadi di Getsemani.

Keberadaan orang-orang yang dikerahkan untuk menangkap Tuhan Yesus menunjukkan seakan-akan Ia adalah orang yang sangat berbahaya.  Padahal sebenarnya para imam dan tua-tua Yahudi tidak berani dan tidak mampu membunuh-Nya karena mereka takut kepada orang banyak yang mengikut-Nya.  Untuk itu Ia menghardik para penyerang-Nya, "Sangkamu Aku ini penyamun, maka kamu datang lengkap dengan pedang dan pentung untuk menangkap Aku? Padahal tiap-tiap hari Aku ada di tengah-tengah kamu mengajar di Bait Allah, dan kamu tidak menangkap Aku. Tetapi haruslah digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci"  (Mrk. 14: 48, 49).

Frasa “Yesus sedang mengajar” dicatat oleh Markus sebanyak tujuh kali, banyak dicatat dalam bentuk present yang artinya kegiatan ini menekankan sebuah kebiasaan.  Itulah mengapa mereka tidak berani menangkap Tuhan Yesus di siang hari, sebaliknya mereka mengemas skenario waktu dan tempat yang pas, yakni waktu malam hari di Taman Getsemani untuk menangkap-Nya.

Tuhan Yesus sama sekali tidak menunjukkan kepanikan—sehingga Ia memanggil bala tentara sorga untuk menghadapi para musuh-Nya.  Tidak, Dia malah memberikan gambaran sesungguhnya  bahwa Dia mengetahui apa yang akan terjadi, “tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri” (Yoh. 10:18).  Tidak ada yang dapat dilakukan manusia tanpa seijin Allah.

Saat itu juga semua murid-Nya melarikan diri, meninggalkan Tuhan Yesus seorang diri menghadapi penderitaan penganiayaan.  Semua murid meninggalkan-Nya.  Petrus yang pernah berkata: “Biarpun mereka semua tergoncang imannya, aku tidak; Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau” (Mrk. 14: 29, 31) pun meninggalkan Tuhan Yesus, Yohanes dan Yakobus yang bersama-sama dengan Tuhan Yesus pun ikut menghilang meninggalkan-Nya.  Tak terkecuali seorang anak muda yang diduga adalah Markus ikut melarikan diri, merelakan diri telanjang daripada ditangkap bersama Yesus (Mrk. 14: 51-52).  Semua murid-Nya meninggalkan Dia.

Kata yang dipakai untuk ‘meninggalkan’ di sini menurut bahasa aslinya “aphentesberarti to abandon, artinya membuang begitu saja tanpa ada perasaan yang terkait, dibuang berarti ditolak.  Semua murid meninggalkan Dia seakan tidak pernah ada jalinan yang terjalin di antara mereka dengan-Nya.  Total, tak tersisa!  Semuanya meninggalkan Yesus.

Mengapa? Pertanyaan yang tersisa hanyalah: Mengapa . . . mengapa mereka yang pernah dekat, tidur, makan bareng selama hampir tiga setengah tahun bisa meninggalkan Tuhan Yesus menderita seorang diri?  Sebegitu teganyakah mereka?!  Jawabannya: karena para murid tidak sungguh-sungguh memperhatikan perkataan Yesus, mereka tidak peka terhadap petunjuk-Nya.

Tuhan Yesus sudah memperingatkan para murid tentang apa yang akan terjadi pada diri-Nya juga pada diri murid-murid, di antaranya: (1) ketika di perjamuan makan malam Tuhan Yesus berkata kepada mereka: "Kamu semua akan tergoncang imanmu” (14: 27), namun para murid tidak peka akan peringatan Tuhan Yesus, bahkan Petrus berkata “Biarpun mereka semua tergoncang imannya, aku tidak (14: 29) "Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau." (14: 31), padahal sebelumnya Tuhan Yesus sudah memperingatinya bahwa Petrus akan menyangkal-Nya tiga kali; (2) ketika di Getsemani, ketika Tuhan Yesus mau berdoa dan berkata Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah." Petrus, Yohanes dan Yakobus juga tidak peka akan curahan hati Yesus, maka bukannya berjaga-jaga dan berdoa mereka malah tertidur.

Kematian Tuhan Yesus yang mendekat bukanlah peristiwa tiba-tiba bagi-Nya, Dia telah mengetahui segalanya, bahkan Dia telah memberitahu kepada para murid agat mereka berjaga-jaga dan mempersiapkan diri mereka.  Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya untuk berjaga-jaga dan berdoa, bukan untuk mendoakan Yesus.  Melainkan untuk mereka sendiri.  Tuhan Yesus tahu bahwa mereka akan membutuhkan tenaga ekstra untuk menghadapi pencobaan di depan mereka nanti, salah satunya pencobaan yang akan  mendorong mereka meninggalkan-Nya dan menyangkal-Nya.

Namun apa yang terjadi?  Murid-murid justru meninggalkan Tuhan Yesus seorang diri. Apa yang mereka lakukan menunjukkan murid-murid tidak peka terhadap perkataan/peringatan Tuhan Yesus.

Refleksi
Kita mungkin tidak sedang menghadapi penganiayaan karena iman kita kepada Yesus.  Tetapi mungkin kita tengah menghadapi banyak masalah yang membuat kita down.   Kita berhadapan dengan orang-orang yang menjengkelkan yang harus kita kasihi dan layani; kita menghadapi beban hidup dan tugas-tugas yang sepertinya tidak ada solusi yang jelas; atau kita bekerja sama dengan orang-orang yang membuat kita down.  Kita harus ingat bahwa di waktu-waktu stress seperti itu, kita mudah untuk mengalami pencobaan.  Lewat firman-Nya, Tuhan Yesus berkata bagaimana kita bisa bertahan:

1)      Berjaga-jagalah (14: 34), kita harus senantiasa berjaga-jaga dan waspada terhadap setiap godaan yang bisa membuat kita jatuh (menjaga mata, telinga, mulut dan tangan serta kaki kita supaya kita tidak melangkah meninggalkan Tuhan).

2)      Berdoa kepada Allah (14: 35) ini merupakan cara kita untuk melatih kepekaan kita terhadap kehendak Allah (mengasah hati nurani).

3)      Mencari dukungan dari teman-teman dan seorang yang mengasihi kita (14: 33, 37, 40-41), ini adalah cara bagaimana kita membangun pertahanan  dan saling menolong satu dengan yang lain; ketika yang satu lemah, yang lain menguatkan (lingkungan positif dan persekutuan).

4)      Fokus kepada tujuan Allah dalam diri kita (14: 36), ini adalah cara bagaimana kita melakukan kehendak Allah dan bukan kehendak kita (cinta mula-mula, tujuan hidup).

Di manapun kita berada, kapanpun  waktunya, dan bagaimanapun keadaan kita, Tuhan menuntut kepekaan kita.  Memiliki kepekaan rohani akan menjaga kita untuk senantiasa berada di dalam lingkaran kasih karunia-Nya dan  menuntun kita selalu berada di jalur ketaatan yang  Tuhan kehendaki.

No comments:

Post a Comment